DAFTAR ISI
Kata
Pengantar.............................................................................................
2
Daftar
Isi......................................................................................................
3
BAB
I
PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang.................................................................................
4
b. Rumusan
Masalah............................................................................
5
c. Tujuan..............................................................................................
6
BAB
II.........................................................................................................
7
PEMBAHASAN.........................................................................................
7
A. Aliran
Al-Asy’ariyah .......................................................................
1. Biografi Al-Asy’ari ...................................................................
2. Pokok Pemikiran Aliran Al-Asy’ari ..........................................
B. Aliran
Al-Maturidiyah ....................................................................
1. Biografi Al-Maturidi .................................................................
2. Pokok Pemikiran Aliran Al-Maturidi ........................................
BAB
III.......................................................................................................
18
PENUTUP
& KESIMPULAN....................................................................
18
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................
19
BAB
I
PENDAHULUAN
a. Latar
Belakang
Perkembangan
ilmu kalam dalam lintasan sejarah islam, tampaknya tidak bisa terlepas dari
peranan kelompok Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, Hal itu dibuktikan dengan keberhasilan
Asy’ariyah dalam membendung arus paham Muktazilah sejak awal kemunculannya
hingga pada masa-masa berikutnya. Pergolakan
antara dua kelompok tersebut terus terjadi baik dalam lingkup kecil maupun
besar.
Karakteristik
yang menonjol dari perbedaan kelompok ini adalah tentang penakwilan terhadap
sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan
ketinggian dan kesuciannya.[1]
Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus.[2] Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah –sebagaimana juga Asy’ariyah- masuk dalam barisan Sunni.[3] Adapun Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan As’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah.[4] Pengertian kedua ini lah yang digunakan dalam pembahasan ini.
b. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah ,yaitu :
1. Bagaimana
riwayat hidup Al-Asy’ari?
2. Bagaimana
pemikiran teologi Al-Asy’ari?
3. Bagaimana
riwayat hidup Al-Maturidi?
4. pemikiran
teologi Al-Maturidi?
c. Tujuan
1. Untuk
mengetahui riwayat hidup Al-Asy’ari
2. Agar
memahami pemikiran teologi Al-Asy’ari
3. Untuk
mengetahui riwayat hidup Al-Maturidi
4. Agar
memahami pemikiran teologi Al-Maturidi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran
Al-Asy’ari
1. Biografi
Al-Asy’ari
Asy’ariyah
adalah satu firqah yang dinisbatkan kepada pemahaman Abul Hasan Al-Asy’ari
rahimahullahu. Nama asli beliau adalah `Ali bin Isma`il bin Abi Bisyr Ishaq bin
Salim bin Isma`il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Burdah bin Musa Al
Asy`ary, lebih dikenal dengan Abu Al Hasan Al Asy`ary. Dilahirkan pada tahun
260 Hijriyah atau 875 Masehi, pada akhir masa daulah Abbasiyah yang waktu itu
berkembang pesat berbagai aliran ilmu kalam, seperti : al Jahmiyah, al
Qadariyah, al Khawarij, al Karamiyah, ar Rafidhah, al Mu`tazilah, al Qaramithah
dan lain sebagainya. Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya
menikah dengan seorang tokoh Mu`tazilah bernama Abu `Ali Al Jubba`i. Beliau
(Abul Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al Qur`an pada usia belasan tahun dan
banyak pula belajar hadits. Pada akhirnya beliau berjumpa dengan ulama salaf
bernama al Barbahari (wafat 329 H). inilah yang akhirnya merubah jalan hidupnya
sampai beliau wafat pada tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64 tahun.[5]
2. Pokok
Pemikiran Aliran Al-Asy’ari
Adapun
pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya
ialah:
a. Bahwa
Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang
ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
b. Al-Qur’an
itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
c. Tuhan
dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
d. Perbuatan-perbuatan
manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
e. Keadilan
Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak
mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji
dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
f. Mengenai
anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan
makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.
g. Menolak
konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini),[6] sebaba
tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir.
Harus dibedakan antara iman, kafir, danperbuatan.
Berkenaan dengan lima
dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman,
antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah
sebagai berikut.
Arti keadilan,
dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah
tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah
menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah
Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka
jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena
kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal.
Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah,
kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan
terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut
Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia
pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya.[7]
Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan
memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka
maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar
tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan
konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang
lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah
boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka
berlaku zalim.
3. Doktrin-doktrin
Teologi Al-asy’ari
Formulasi pemikiran
Al-asy’ari,secara esensial,menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi
ortodoks ekstrim di satu sisi dam Mu’tazilah di sisi lain. Corak pemikiran yang
sintesis ini, menurut watt barang kali di pengaruhi teologi ullabiah (teologi
sunni yang di pelopori ibn kullab). Pemikiran-pemikiran al-asy’ariah yang
terpenting adalah berikut ini:
Corak pemikiran yang
sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi teologi kullabiah (teologi
Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M).[8]
Pemikiran-pemikiran
Al-asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a. Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari dihadapkan pada dua
pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah (antropomorfis) dan kelompok
Musyabbihah yang berpendapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam
Al-Qur'an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus difahami menurut harti
harfiyahnya. Dilain pihak,ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa sifat-sifat allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun
tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikah secara
harfiah, melainkan harus di jelaskan secara alegoris.[9]
Al-asy’ari berpendapat
bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki
dan ini tidak boleh diartikan secara hartiah, melainkan secara simbolis
(berbeda dengan kelompok siatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri,
tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya.
Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.[10]
b. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Dalam hal apakah
manusia memiliki kemampuan untuk memilih,menentukan,serta mengaktualisasikan
perbuatannya? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariah yang fatalistik dan penganut faham
pradeterminisme semata-mata dan Mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak
dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[11]
Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta
(khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya
(muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk
keinginan manusia).[12]
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan
buruk
Walaupun Al-asy’ari dan
orang-orang Mutazilah mengakui pentingnya akan dan wahyu, mereka berbeda dalam
menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan
wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.[13]
Dalam menentukan baik
dan buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa
baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berlandaskan
pada akal.[14]
d. Qadimnya Al-Qur'an
Mutazilah mengatakan
bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim serta pandangan mazhab
Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang
qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata
dan bunyi Al-Qur'an adalah qadim.[15]
Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu
Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata, huruf
dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.[16] Nasution
mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al- Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia
diciptakan, sesuai dengan ayat:[17]
Artinya: “Sesungguhnya
perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya
mengatakan kepadanya: "Kun (jadilah)", maka jadilah ia. (Q.S.
An-Nahl:40)
e. Melihat Allah
Al-asy’ari tidak
sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama Zahiriyah yang menyatakan
bahwa Allah dapat dilihat di akherat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di
Arsy. Selain itu ia tidak sependapat dengan mutazilah yang mengingkari
ru’yatullah (melihat Allah) di akherat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat
dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat
terjadi bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk
melihat-Nya.[18]
f. Keadilan
Pada dasarnya
Al-asy’ari dan Mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda
dalam memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mutazilah
yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang
salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah
tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa Mutlaq. Dengan
demikan jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadailan dari visi manusia yang
memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahewa Allah adalah pemilik
mutlak.[19]
g. Kedudukan orang berdosa
Al-Asy’ari menolak
ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.[20]
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang
haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu,
Al-Asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang
fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.[21]
6. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar
luas pada zaman Wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq dan seolah
menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa
keemasan Madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota
Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah Universitas terbesar di
dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan
Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan
Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh
sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha Mazhab Asy-Syafi'i dan Mazhab
Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa
akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di
seluruh dunia.[22]
B. Aliran
Al-Maturidi
1. Biografi
Al-Maturidi
Sejarah Berdiri Dan
Berkembangnya Al-Maturidi
a. Definisi
Aliran Maturidiyah
Berdasarkan buku
Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu
Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh
Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah
yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran
ini.[23]
Maturidiyah adalah
aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli
kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain
untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan dengan itu juga,
aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu
Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi
yang bercorak rasional.
b. Sejarah
Aliran Al-Maturidi
Abu Manshur Muhammad
ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di
daerah Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah,
daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui
pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada
tahun 333 H/944 M[25]. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama
Nasyr bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada
masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M. Karir
pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi
dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya
tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I,
Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh
Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan sarah fiqih.
Al-Maturidiah merupakan
salah satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan
Asy’ariyah.Maturidiah da Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi social dan
pemikiran yang sama.kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak
yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum
rasionalis,dimana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah,maupun
ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan
adalah kaum Hanabilah.
c. Karya
Aliran Al-Maturidi
1. Buku
Tauhid, buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran
Maturidiyah. Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia
menggunakan Al Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang memberikan keutamaan yang
lebih besar kepada akal.
2. Ta’wilat
Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya
dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan
fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah
dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku
tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an.
Al Maqalat, peneliti buku At Tauhid
berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa perpustakaan Eropa. Akan tetapi
karya-karya lainnya dan nama-namanya tercantum di buku-buku terjemahan di
antaranya adalah:
a. Akhdzu
Al Syara’i
b. Al
Jadal fi Ushul Al Fiqh
c. Bayan
wa Hum Al Mu’tazilah
d. Rad
Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili
e. Rad
Al Imamah li ba’dzi Al Rawafidz
f. Al
Rad ala Ushu Al Qaramathah
g. Rad
Tahdzib Al Jadal Lil Ka’bi
h. Rad
wa Aid Al Fisaq lil Ka’bi
i. Rad Awa’il Al Adilah lil Ka’bi
3. Tokoh-Tokoh
Dan Ajarannya
Tokoh yang sangat
penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad
al-Badzawi yang lahir pada tahun 421
Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah.Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya adalah karena neneknya adalah
murid dari Al-Maturidi.
Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku al-‘Aqa’idal
Nasafiah.[26]
Seperti Al-Baqillani
dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh
dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan
Samarkand yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan golongan Bukhara yang mengikuti
paham-paham Al-Badzawi.[24]
2. Pokok
Pemikiran Aliran Al-Maturidi
Sebagaimana tokoh-tokoh
paham yang lain, al-Maturidi mempunyai konsep pemikiran yang berisi pokok-pokok
ajarannya sebagai berikut :
a. Kedudukan Akal dan Wahyu
Al-Maturidi dalam
pemikiran teologinya mendasarkan kepada Al-Quran dan akal, hal tersebut sesuai
dengan pemikiran al-Asy’ari namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih
besar daripada yang diberikan oleh al-Asy’ari. Menurut al-Maturidi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui
Tuhan dapat diketahui oleh akal, hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran
yang memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dalam memperoleh pengetahuan
dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluki ciptaan-Nya. Orang yang tidak mau menggunakan akal untuk
memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban
yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut, namun akal tidak mampu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban yang lainnya.
Penentu baik dan
buruknya sesuatu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedang perintah dan
larangan syari’ah hanya mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya
sesuatu. Karena akal tidak selalu mampu membedakan baik dan buruk tetapi
terkadang akal mampu membedakannya, maka dalam ini wahyu diperlukan untuk
dijadikan pembimbing.
Sesuatu yang berkaitan
dengan akal al-Maturidi membagi mebagi pada tiga macam:
1) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
kebaikan sesuatu itu,
2) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui
keburukan sesuatu itu,
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan
keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Akal dapat mengetahui
adanya Tuhan serta baik dan buruk dan juga dapat mengetahui kewajiban dan
larangan dari Tuhan. Iman dalam pandangan tentang adanya Tuhan menurutnya lebih
tashdiq, sebab akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui yang diinginkan
Tuhan. Dengan demikian bagi al-Maturidi
( Maturidiyah Samarkand ) peranan wahyu lebih kecil daripada akal.
b. Perbuatan Manusia
Setiap manusia memiliki
kebebasan di dalam gerak-geriknya. Menurut al-Maturidi perbuatan manusia yang
jelek dan buruk sama sekali terlepas dari kehendak Allah,[25]
sebab jika perbuatan baik dan buruk yang
dilakukan manusia terikat kepada Allah, maka manusia didalam berbuat kejahatan
melibatkan campur tangan Allah juga, sehingga apabila manusia berbuat kejahatan
atau kejelekan sudah merupakan kehendak
Allah, maka Allah sudah menganiaya makhluk-Nya. Hal tersebut berdasarkan firman
Allah QS. Hud (11): 101 yang berbunyi:
Terjemahnya:
“ Kami tiak berbuat lalim terhadap mereka,
tetapi mereka sendiri yang bebuat lalim
terhadap diri mereka”[26]
Aliran ini berpandangan
bahwa manusialah yang mewujudkan semua perbuatan sesuai dengan daya yang ada
pada diri manusia, pemakaian daya yang diciptakan bersamaan dengan perbuatan
sedangkan perbuatan Tuhan hanya menciptakan daya dan bagaimana daya itu
diaktualisasikan, itu merupakan perbuatan manusia. Kehendak daya manusia dalam arti sebenarnya bukan dalam arti kiasan.[27]
c. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik
atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan
akan tetapi bukan berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan
sewenang-wenang serta sekehendak-Nya semata, karena dalam hal ini qudrat Tuhan
tidak sewenang-wenang ( absolut ) tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya
sendiri.
Kehendak mutlak Tuhan
dibatasi oleh keadilan Tuhan yang mengandung arti segala perbuatan-Nya adalah
baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan
kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak akan memberi beban kepada manusia yang
terlalu berat, dan tidak sewenang-wenang memberi hukuman karena Tuhan tidak
berbuat zalim dan Tuhan akan memberi upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. [28]
d. Sifat-sifat Tuhan
Berkaitan dengan sifat
Tuhan al-Maturidi berpendapat bahwa, Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sifat
sama’, bashar dll.dengan pengertian bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai
esensinya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat Tuhan itu mulzamah (ada
bersama) dzat tanpa terpisah, Dia
menetapkan sifat Allah tidak harus membawanya kepada pengertian anthromorphisme
(Tuhan bersifat immateri, tidaklah dapat dikatakan bhawa Tuhan mempunyai
sifat-sifat jasmani)[29]
Terhadap ayat-ayat yang
mengandung sifat-sifat seperti bahwa Allah mempunyai wajah, tangan, mata dan
lainnya, al-Maturidi berdiri pada posisi penta’wil dan berjalan di atas
prinsipnya yaitu membawa ayat-ayat mutasybih (samar, tidak jelas) kepada yang
muhkan ( yang jelas pengertiannya ). Sebagai contoh dia menginterpretasikan
potongan ayat dari firman Allah QS Al-A’raf (7) : 54 :
Terjemahnya:
“ Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy…”
Dalam menafsirkan ayat
tersebut dia menggunakan makna alternatif, yaitu bahwa Allah menuju ‘Arsy dan
menciptakannya dalam keadaan rata, lurus dan teratur.
e. Melihat Tuhan
Firman Allah dalam QS
al-Qiyamah ( 75 ) : 22-23 berbunyi :
Terjemahnya:
“Pada detik-detik itu
ada orang yang mukanya berseri-seri. Yang memandang rindu kepada”[30]
Dalam hal melihat Tuhan
al-Maturidi berpendapat bahwa, Allah dapat dilihat di hari Kiamat, hal tersebut
merupakan salah satu keadaan khusus dari kondisi pada hari Kiamat,yaitu hari
perhitungan amal pahala dan siksa.[31]
Sedangkan keadaan itu hanya Allah yang mengetahui bagaimana bentuk dan sifatnya
karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia. Membicarakan
keadaan yang sebenarnya hari Kiamat itu termasuk sikap yang melampaui batas.
f. Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan
antara kalam ( sabda ) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam
nafsi ( sabda yang sebenarnya atau makna abstrak ) . Al-Quran dalam arti kalam
yang tersusun huruf dan kata-kata adalah baharu ( hadis ) sedang kalam nafsi
tidak dapat diketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya kecuali
dengan suatu perantara.[32]
Al-Maturidi berpendapat bahwa Al-Quran sebagai sabda Tuhan bukan sifat tetapi
perbuatan yang diciptakan Tuhan tidak bersifat kekal, Dia lebih cocok
menggunakan istilah hadis sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Quran..
g. Pengutusan Rasul
Menurut al-Maturidi
akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia
seperti, mengetahui baik dan buruk, sehingga akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban
tersebut. Maka dari itu pengutusan Rasul sangat diperlukan sebagai media
informasi karena tanpa mengikuti ajaran wahyu manusia membebankan sesuatu di
luar kemampuannya kepada akal. Al-Bayadi memberikan keterangan bahwa keadaan
akal tidak dapat mengetahui segala apa yang diketahui manusia tentang Tuhan dan
alam gaib, Oleh karena Tuhan menghendaki perbuatan baik manusia, maka Tuhan
wajib mengirim para rasul.[33]
h. Pelaku Dosa Besar
Orang melakukan
perbuatan dosa besar menurut al-Maturidi tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia meninggal
sebelum bertobat, hanya saja yang berbuat dosa besar hukumnya fasik[34]
karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada semua perbuatan
manusia sesuai dengan perbuatannya dan yang kekal di neraka adalah orang-orang
yang berbuat dosa syirik.[35]
Perbuatan dosa besar selain syirik bukanlah kafir atau murtad karena menurutnya
iman itu cukup dengan tasdhiq dan iqrar sedangkan perbuatan adalah merupakan
penyempurna iman.
Berkenaan dengan hal
tersebut Al-Maturidi mengatakan bahwa Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya QS al-An’am ( 6 ) : 160 yang
berbunyi:
Terjemahnya;
“Barang siapa yang membawa sesuatu amal yang
baik, akan mendapat ganjaran sepuluh ganda, Barang siapa yang membawa sesuatu
amal yang jelek, maka balasannya hanya sepadan, dengan tidak diperlakukan
secara lalim”[36]
i. Kebangkitan di Hari Kiamat
Tentang kebangkitan di
hari Kiamat al-Maturidi meyakini adanya hal tersebut,dimana jasad manusia
dibangkitkan kembali[29]. Hal tersebut al-Maturidi dengan alasan firman Allah QS al-Haj ( 22 ) : 7 yang
berbunyi :
Terjemahnya:
“Dan bahwa kiamat pasti bakal datang, dan
bahwa Allah akan membangkitkan penghuni kubur’.[37]
j. Mengenai Iman
Penyempurnaan iman
seseorang sebagai pelengkapnya adalah pernyataan lisan dan amal perbuatan.
Karena iman adalah kepercayaan dalam hati, seperti contoh orang yang percaya
dan menyakini ke-Esaan Allah dan percaya kepada Rasul-Nya maka dia sudah
digolongkan kepada orang mukmin. Iman mestilah lebih dari tashdiq yaitu ma’rifah dan’amal[38]
karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.
Pandangan tersebut didasarkan pada dalil naqli[39]
yang menjelaskan bahwa Nabi Imbrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan
bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan tersebut menurut
al-Maturidi tidaklah berarti Ibrahim belum beriman tetapi Ibrahim mengharapakan
imannya yang sudah dimiliki meningkat menjadi iman hasil ma’rifat.
k. Perbuatan Tuhan
Dalam hal perbuatan Tuhan
al-Maturidi berpendapat bahwa, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini,
kecuali semuanya kehendak Tuhan dan tidak ada yang memaksa atau membatasai kehendak Tuhan kecuali karena
ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendaknya sendiri. Setiap
perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepada manusia tidak lepas dari kehendak-
Nya.
Pendapat al-Maturidi yang berkenaan
dengan perbuatan Tuhan bahwa Allah Maha Suci dari berbuat secara main-main,
segala perbuatan-Nya senantiasa sesuai dengan kebijaksanaan-Nya karena Dia Maha
Bijaksana serta Maha Mengetahui.[40]
BAB III
KESIMPULAN
Kelompok
Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan Al-Asy’ari
dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi terhadap argumen
dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah. Dalam
perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode dalam pemahaman akidahnya,
yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.
Antara
Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya
ialah dalam hal-hal sebagai berikut: Tentang sifat Tuhan, tentang perbuatan
manusia, tentang Al-Qur’an, kewajiban tuhan, Pelaku dosa besar, Rupa Tuhan, dan
juga janji Tuhan.
Pokok-pokok
ajaran Al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran al-Asy'ariyah dalam merad pendapat-pendapat Mu'tazilah. Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan
ajaran mereka atau dalam masalah cabang.
Pemikiran-pemikiran
al-Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al-Maturidi
memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan
Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang
juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand
yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih
dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al-Bazdawi
yang condong kepada Asy’ariyah.
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syahrastani,
Muhammad bin Abd Al-Karim, Al-Milal wa
An-Nihal, Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951
Abdul
Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq, Dar al-Kutub al-ilmiah:
Beirut: t.t
Badawi,
Abdurrahman, Mazhab Al-Islamiyyin, Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984
Hamid,
Jalal Muhammad Abd, Al-Nasyiah Al-Asy’ariyah wa Tatawwaruh, Beirut: Dar
Al-Kitab, 1975
Hanafi,
A, Pengantar Teologi Islam, Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003
Ibrahim,
Aliran dan Teori filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Madkour,
Ibrahim , Aliran dan teori filsafat islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Muhammad
Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU Jakarta: aniuhnia Press, 2005
Nasir,
Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010
Nasution,
Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
UI-Press, 1986
Rozak,
Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009
[1]
Abubakar Aceh, Salaf: Islam dalam Masa
Murni, Ramadhani, Solo, 1986, hlm. 25.
[2]
Jalal Muhammad Musa, Nasy’ah
Al-Asy’ariyah Wa Tathawwuruha, Dar Al-Kitab Al-Lubnani Beirut, 1975, hlm.
15.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] https://www.academia.edu/25095341/Asyariyah_dan_Maturidiyah
[6] Abdur
Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hal. 124
[7] http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html#uds-search-results
[8] Abdul
Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 121
[9] Abdul
Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 121
[10] C.A.
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1991),
hal. 67-68
[11] C.A.
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam…..,., hal. 68
[12] Abdul
Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 122
[13] Ibid
[14] Muhammad
bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar
al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 115
[15] Muhammad
bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal…..,.,hal. 115
[16] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 69
[17] I
Harun Nasution, Teologi Islam:
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan…,., hal. 69
[18] Abdul
Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 123
[19] Abdul
Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 124
[20]
Ibid
[21]
Ibid
[22] http://syafieh.blogspot.com/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-dan.html
[23] A.
Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru:
2003), hal. 167.
[24] http://syafieh.blogspot.com/2013/04/ahlus-sunnah-wal-jamaah-al-asyari-dan.html
[25] Muhammad
bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar
al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951), hal. 115
[26] Muhammad
bin Abd Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal…..,., hal. 122
[27] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 69
[28] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, …,., hal. 69
[29] Abdul
Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 123
[30] Abdul
Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam….,.,hal. 124
[31]
Ibid
[32] A.
Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru:
2003), hal. 167
[33] Abdul
Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm124
[34] Harun
Nasution, Teologi Islam…, hal. 70
[35] Ibid.,hlm.126
[36] Harun
Nasution, Teologi Islam…, hal. 70
[37] Ibid,
hal. 131-132
[38] Muhammad
Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU
[39] Abdul
Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut: t.th). hal, 28
[40] Abdul
Rozak dan Rosihon anwar, Ilmu Kalam...,hal.127